Metode Perhitungan Pendapatan Nasional (Ekonomi Makro) - Vorzil

Metode Perhitungan Pendapatan Nasional (Ekonomi Makro)

Perhitungan Pendapatan Nasional 
Metode Perhitungan Pendapatan Nasional - Ekonomi Makro

Metode-metode Penghitungan Pendapatan Nasional

Pendapatan Nasional yang di Indonesia biasa diistilahkan dengan PDB (Produk Domestik Bruto), memiliki setidaknya 3 cara/metode penghitungan. Masing-masing metode penghitungan melihat pendapatan nasional dari sudut pandang yang berbeda, tapi hasilnya saling melengkapi. Tiga metode penghitungan tersebut adalah


(1) Metode Output/Produksi

(2) Metode Pendapatan

(3) Metode Pengeluaran


1. Metode Output (Pendapatan Nasional diistilahkan sebagai PDB)


Metode output membagi perekonomian menjadi beberapa sector produksi (lihat table di bawah). Menurut metode output, PDB adalah total output/produksi yang dihasilkan oleh suatu perekonomian. Output atau produksi ini sering juga diistilahkan dengan nilai tambah. Dengan demikian, bisa dikatakan, PDB = jumlah total dari nilai tambah masing-masing sector produksi.

Tabel contoh sederhana penghitungan PDB :

Sektor Produksi
Nilai Input
Nilai Output
Nilai Tambah
PDB
Pertanian kapas
Pabrik benang
Pabrik tekstil
Industri garmen
Perdagangan pakaian
0
300
400
600
800
300
400
600
800
1.000
300
100
200
200
200
1.000
                     
PDB = 300+100+200+200+200 = 1.000

Tabel contoh PDB Indonesia tahun 1996 (dalam milliard rupiah) yang bersumber dari laporan Bank Dunia :
Pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan
Pertambangan dan penggalian
Industri pengolahan
Listrik, gas, dan air bersih
Bangunan
Perdagangan, hotel, dan restoran
Pengangkutan dan komunikasi
Keuangan, persewaan, dan jasa perusahaan
Jasa-jasa
86.212
43.893
133.088
6.561
42.279
88.451
35.554
38.769
54.149
PDB (Produk Domestik Bruto)
528.956
'

2. Metode Pendapatan (Pendapatan Nasional diistilahkan sebagai PN)

Metode pendapatan memandang nilai output perekonomian sebagai nilai total balas jasa atas factor produksi yang digunakan dalam proses produksi. Total balas jasa atas seluruh factor produksi disebut Pendapatan Nasional (PN).

Baca Juga : Pengertian Dan Masalah Ekonomi Makro

PN = upah atau gaji + pendapatan bunga investasi + pendapatan sewa + keuntungan 

Balas jasa untuk tenaga kerja adalah gaji atau upah, balas jasa untuk barang modal adalah pendapatan sewa, balas jasa untuk pemilik uang/asset finansial adalah pendapatan bunga, sedangkan balas jasa untuk pengusaha adalah keuntungan.

Di Indonesia, perhitungan Pendapatan Nasional jarang dipublikasikan. Oleh karena itu contoh metode ini diambil dari perekonomian Amerika Serikat.

Tabel contoh Pendapatan Nasional Amerika Serikat  tahun 1994 (dalam US$ Milliar) :
Pendapatan upah/gaji
Pendapatan non gaji
Keuntungan perusahaan
Pendapatan bunga netto
Pendapatan sewa
4.004,6
473,7
542,7
409,7
27,7
Pendapatan Nasional
5.458,4

3. Metode Pengeluaran (Pendapatan Nasional diistilahkan dengan PDB)

Menurut metode pengeluaran, PDB merupakan nilai total pengeluaran dalam perekonomian selama periode tertentu. Pengeluaran tersebut mencakup :
  • Konsumsi rumah tangga;
  • Konsumsi pemerintah; 
  • Pengeluaran investasi; 
  • Ekspor neto. 

Pengeluaran sector rumah tangga berupa konsumsi akhir, baik barang maupun jasa. Konsumsi pemerintah berupa pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang digunakan untuk membeli barang dan jasa akhir. Pengeluaran pemerintah berupa tunjangan social tidak termasuk dalam perhitungan konsumsi pemerintah. PMTDB (Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto) merupakan pengeluaran sector dunia usaha. Termasuk dalam PMTDB adalah perubahan stok untuk barang jadi maupun barang setengah jadi. Ekspor netto adalah selisih antara nilai ekspor dengan impor.

Penghitungan PDB menurut metode pengeluaran sebagai berikut :

PDB = konsumsi rumah tangga + konsumsi pemerintah + PMTDB + Ekspor – Import

Tabel contoh Produk Domestik Bruto Indonesia tahun 1996 (dalam milliard rupiah) :
Konsumsi rumah tangga
Konsumsi pemerintah
PMTDB
Ekspor barang dan jasa
Import barang dan jasa
308.469
40.695
172.777
138.675
– 131.660
Total PDB
528.956

Perhitungan Pendapatan Nasional :

PDB Harga Berlaku dan Harga Konstan
Nilai PDB (Produk Domestik Bruto) merupakan hasil perkalian antara harga barang yang diproduksi dan jumlahnya. Nilai PDB yang lebih besar tidak berarti pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, dan tidak berarti pula output (barang dan jasa) yang dihasilkan lebih banyak. Hal demikian disebabkan oleh perbedaan harga akibat dari inflasi. Contoh kasus bahwa besar PDB tidak bisa dijadikan patokan untuk mengukur pertumbuhan ekonomi suatu negara diilustrasikan dalam table di bawah ini :

TAHUN
PDB (RUPIAH)
HARGA BARANG/JASA (RUPIAH)
JUMLAH
2000
100.000
100
1.000
2001
110.000
110

Dari table di atas nampak bahwa PDB tahun 2001 lebih tinggi dari PDB tahun 2000, namun ternyata output (jumlah barang atau jasa yang dihasilkan) tidak ada penambahan. Perbedaan PDB ini akibat dari perbedaan harga, dimana telah terjadi inflasi. Meski PDB tahun 2001 lebih tinggi daripada PDB tahun 2000, namun karena tidak ada peningkatan output, maka dapat dikatakan antara tahun 2000-2001 tidak terjadi pertumbuhan ekonomi (stagnan).

Perhitungan PDB pada table di atas menggunakan harga berlaku pada tahun bersangkutan, yakni 100.000 pada tahun 2000 dan berubah menjadi 110.000 pada tahun 2001 untuk jenis barang/jasa yang sama. Jelas sekali bahwa penghitungan PDB dengan menggunakan harga berlaku tidak memberikan gambaran yang jelas untuk menilai pertumbuhan ekonomi suatu negara. PDB yang menggunakan harga berlaku disebut PDB nominal, bukan PDB riil.

Kelemahan penghitungan PDB menggunakan harga berlaku (PDB nominal) dapat diatasi dengan penghitungan berdasar harga konstan, sehingga dapat dihitung PDB riil. Harga konstan merupakan harga barang/jasa yang berlaku pada tahun dimana perekonomian dinilai baik dan dijadikan harga untuk barang/jasa dalam perhitungan PDB untuk tahun-tahun yang lain.

Jika perekonomian tahun 2000 diasumsikan baik, dan harga barang/jasa pada tahun 2000 dijadikan patokan harga (harga konstan), maka PDB riil untuk tahun 2001 dapat dihitung dengan cara :

PDB riil 2001
= 110.000 : (110 : 100)
= 110.000 : 1,1
= 100.000

(jelaslah bahwa PDB riil 2001 memang sama dengan PDB tahun 2000).    Note : angka 110 : 100 disebut juga sebagai angka deflator, umumnya ditulis dalam bentuk prosentase (%).
Dari data di atas, bisa juga dihitung tingkat inflasi dan  pertumbuhan ekonominya dengan cara :

Inflasi 2001
= (110 : 100) – 1
= 1,1 – 1
= 0,1  atau 10%

Pertumbuhan ekonomi 2001
= (PDB riil 2001 – PDB riil 2000) : PDB riil 2000
= (100.000 – 100.000) : 100.000
= 0 (tidak ada pertumbuhan ekonomi)

PDB PER KAPITA. Perhitungan PDB riil akan memberikan gambaran ringkas tentang tingkat kemakmuran suatu negara dengan cara membaginya dengan jumlah penduduk. PDB riil per jumlah penduduk disebut PDB perkapita.

Perserikatan Bangsa-Bangsa menjadikan PDB per kapita dalam menyusun kategori tingkat kemakmuran suatu negara. Berdasar standar PBB tahun 1992, sebuah negara dikatakan miskin bila PDB per kapita lebih kecil dari US$ 450 dan dikatakan kaya jika PDB per kapita lebih dari US$ 8.000.

Kelemahan penghitungan PDB per kapita adalah jika distribusi pendapatan warga negara tidak merata atau timpang, seperti yang terjadi di Amerika tahun 1996 dimana PDB per kapita sangat tinggi namun ternyata sekitar 46% asset finansial dikuasai hanya oleh sekitar 1% penduduk.

Teori Konsumsi
Pengeluaran konsumsi terdiri atas konsumsi pemerintah dan konsumsi rumah tangga. Teori konsumsi yang akan dibahas dalam tulisan ini hanyalah konsumsi rumah tangga. Pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan porsi terbesar pengeluaran agregat, bisa mencapai 60-70% dari total pengeluaran.

Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga diantaranya :
  • Pendapatan rumah tangga;
  • Kekayaan rumah tangga; 
  • Tingkat bunga; 
  • Perkiraan tentang masa depan; 
  • Jumlah penduduk; 
  • Komposisi penduduk (usia produksi, tingkat pendidikan, jumlah penduduk urban); 
  • Sosial budaya
Dari sekian banyak teori konsumsi, salah satunya adalah teori konsumsi Keynes, yaitu :[

a.  Konsumsi (C) = Konsumsi otonomus (Co) + ∆C/∆Y.Pendapatan disposable (Yd)
b.  Yd = C + Tabungan (S)
c. Perubahan komsumsi selalu lebih rendah atau sama dengan perubahan pendapatan disposabel, atau  ∆C ≤ ∆Yd
d.   0 ≤ ∆C/∆Yd ≤ 1  

Note : Pendapatan disposable = pendapatan setelah dikurangi pajak

Agar lebih jelas memahami teori konsumsi Keynes, perhatikan table di bawah ini :

Pendapatan Disposabel
= Yd
Konsumsi
= C
Perubahan Yd
= ∆Yd
Perubahan C
= ∆C
∆C/∆Yd
C/Yd
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
200
1.000
1.800
2.600
3.400
4.200
-
1.000
1.000
1.000
1.000
1.000
-
800
800
800
800
800
-
0,80
0,80
0,80
0,80
0,80
-
1,00
0,90
0,87
0,85
0,84

Dari table di atas terlihat bahwa pertambahan konsumsi tidak sebesar pertambahan disposibel. Dengan demikian angka ∆C/∆Yd tidak pernah lebih besar dari 1. ∆C/∆Yd disebut juga MPC (Marginal Propensity to Consume = kecenderungan mengonsumsi marginal), yaitu besarnya penambahan konsumsi tiap 1 unit kenaikan pendapatan.

Jika negara makin makmur dan adil, porsi penambahan pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makin berkurang, karena meningkatnya kemampuan untuk menabung. Hal ini terlihat pula pada angka-angka C/Yd (perbandingan konsumsi dan pendapatan disposable). C/Yd disebut juga APC (Average Propensity to Consume = kecenderungan mengkonsumsi rata-rata).

Teori Investasi
Investasi dapat diartikan bermacam-macam, misalnya : Keputusan menunda konsumsi sumber daya atau bagian penghasilan demi meningkatkan kemampuan menambah /menciptakan nilai hidup (penghasilan dan atau kekayaan) di masa mendatang, atau Segala sesuatu yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan menciptakan/menambah nilai kegunaan hidup.

Pengeluaran-pengeluaran yang meningkatkan Stok barang modal. Yang dimaksud stok barang modal adalah jumlah barang modal dalam suatu perekonomian pada satu masa tertentu. Untuk mempermudah penghitungan, stok barang modal biasanya dinilai dengan uang, yaitu jumlah barang modal dikalikan harga perolehan per unit barang modal.

Dalam ekonomi makro, yang dibahas adalah investasi fisik, misalnya dalam bentuk barang modal (pabrik dan peralatan), bangunan, dan persediaan barang. Investasi barang modal dan bangunan mencakup pengeluaran untuk pembelian pabrik, mesin, alat produksi, dan bangunan baru.

Agar tidak rancu dalam penghitungan PDB, yang dimasukkan dalam penghitungan investasi adalah barang modal, bangunan/konstruksi, persediaan barang, dll yang masih baru. Jika seorang pengusaha membeli pabrik dan bangunan yang pernah dipakai oang lain, kegiatan tersebut tidak dapat dihitung sebagai investasi.

Nilai Waktu dari Uang
Pertimbangan pokok dari keputusan investasi adalah berapa nilai sekarang dari uang yang akan kita peroleh di masa mendatang. Misalnya sebuah rencana investasi sebesar Rp. 100 juta yang berdasar proposal dalam lima tahun mendatang akan berkembang menjadi Rp. 161 juta. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah nilai Rp. 161 juta lima tahun mendatang lebih besar dari Rp. 100 juta saat ini ? jika ya, proposal itu layak diterima. Jika tidak, maka proposal itu harus ditolak !

Untuk menjawab pertanyaan di atas, perlu datafactor diskonto, yaitu bunga yang harus kita kembalikan (jika dana yang akan kita investasikan merupakan pinjaman). Seandainya bunga pinjaman adalah 15% per tahun, maka perhitungannya sebagai berikut :

Nilai Rp 161 juta lima tahun mendatang
=  161 juta : (1 + 15%)5
= 161 juta : 2,01
= 80,1 juta (menyusut, tidak menguntungkan).
Perhitungan di atas belum memasukkan variabel inflasi dimana nilai uang berkurang. ()

Teori Investasi :

Kriteria Investasi
Beberapa hal dalam proposal investasi yang dihitung oleh pembuat rencana anggaran proyek dan dipertimbangkan oleh investor adalah.

a. Benefit – Cost Ratio (B/C).
Benefit (B) = pendapatan, Cost (C) = biaya. B/C adalah indeks yang merupakan perbandingan antara pendapatan dan biaya. Jika besar pendapatan sama dengan biaya (impas), maka B = C atau B/C = 1. Jika pendapatan lebih kecil dari biaya yang dikeluarkan, maka B < C atau B/C < 1. Dalam investasi, yang dicari adalah pendapatan melebihi biaya atau B/C > 1.

b. Payback Period (PP). 
PP adalah waktu yang dibutuhkan agar investasi yang direncanakan dapat dikembalikan, atau waktu yang dibutuhkan untuk mencapai titik impas. Umumnya investasi akan dinilai baik jika PP-nya secepat mungkin. Namun ada beberapa macam investasi yang sangat menguntungkan namun membutuhkan waktu yang relative lama, misalnya investasi perkebunan tanaman keras dan kehutanan.

c. Net Present Value (NPV). 
NPV = selisih antara pendapatan dan biaya, dimana besar pendapatan dan besar biaya telah dikonversikan sesuai dengan kaidah nilai waktu dari uang, yaitu mengkonversikan nilai uang yang akan dikeluarkan atau yang akan diperoleh di masa yang akan datang menjadi senilai dengan saat ini.

d. Internal Rate of Return (IRR). 
IRR adalah nilai tingkat pengembalian investasi dihitung pada saat NPV = 0, atau pendapatan (konversi) = biaya (konversi).

Tidak seperti halnya NPV dan IRR, perhitungan B/C dan PP berpotensi menghasilkan gambaran yang keliru karena seringkali tidak dikonversikan ke masa kini sesuai kaidah ‘nilai waktu dari uang’ (factor diskonto). Tanpa memperhitungkan nilai waktu dari uang, analisis B/C dan PP di atas tidak akan berarti apa-apa.

Contoh kasus :
P.T. Bataragema Group ditawarkan sebuah proposal investasi berupa proyek pembangunan pabrik pengolahan limbah tapioca di Lampung. Usia proyek direncanakan 7 tahun. Investasi dibutuhkan Rp. 1 Milyar. Persiapan pembangunan pabrik 1 tahun. Selama proses persiapan tidak dikeluarkan biaya operasional. Pabrik mulai beroperasi pada tahun pertama dan langsung berproduksi dengan kapasitas penuh. Biaya-biaya maupun penerimaan hasil penjualan selama 7 tahun mendatang dianggap tetap. Biaya operasional per tahun Rp. 200 juta. Penerimaan per tahun Rp. 400 juta. Pada saat proyek ditutup 7 tahun kemudian, nilai sisa dari barang-barang modal adalah nol. Jika dana untuk proyek berasal dari pinjaman dengan bunga 15% per tahun, apakah proposal tersebut bisa diterima ?


Jawaban berdasar analisis biasa, tidak mempertimbangkan ‘nilai waktu dari uang’  sebagai berikut :
                                 
Tabel 1. Rincian Perhitungan Tanpa Memperhitungkan Faktor Diskonto

Tahun ke-
Kas Keluar*
(C)
Kas Masuk*
(B)
Arus Kas Bersih*
B – C
Akumulasi Arus Kas Bersih*
0
1
2
3
4
5
6
7
1.000
200
200
200
200
200
200
200
0
400
400
400
400
400
400
400
-1.000
200
200
200
200
200
200
200
-1.000
-800
-600
-400
-200
0
200
400
Total
2.400
2.800
400
        Dalam juta rupiah
  1. B/C = 2.800/2.400 = 1,17 (lebih dari 1, maka diterima)
  2. PP = 5 tahun (kurang dari 7 tahun, maka diterima)
Berdasar analisis B/C dan PP, proposal layak diterima.   

 Berikut ini  Jawaban berdasar analisis yang memperhitungkan factor diskonto   (nilai waktu dari uang) :

Dari table di atas, kemudian dibuat table seperti di bawah ini :

Tabel 2. Rincian Perhitungan dengan Memasukkan Faktor Diskonto

Tahun ke-
Faktor Diskonto 15%
Kas Keluar (C)
Kas Masuk (B)
Arus Kas Bersih
(B – C)
Akumulasi Arus Kas Bersih
0
1
2
3
4
5
6
7
1,00
0,87
0,76
0,66
0,57
0,50
0,43
0,38
1.000
174
152
132
114
100
86
76
0
348
304
264
228
200
172
15
-          1.000
174
152
132
114
100
86
276
-          1.000
–          826
–          674
–          542
–          428
–          328
–          242
–          166
Total
1.834
1.668
-          116

Keterangan : Nilai-nilai yang tertera pada kolom Kas Keluar (C) merupakan hasil perkalian factor diskonto dengan angka-angka Kas Keluar pada table 1, demikian pula angka-angka pada kolom Kas Masuk.  Yang perlu dipahami adalah angka-angka factor diskonto (1,00; 0,87; 0,76; … sdt).

Keterangan Angka Faktor Diskonto :
Pada tahun ke-0 nilai Rp. 1 belum mengalami perubahan.
Pada tahun ke-1 nilai Rp. 1 senilai dengan Rp. 0,87
                Angka 0,87 berasal dari    ____1____
                                                                   (1 + 0,15)1
Pada tahun ke-2 nilai Rp. 1 senilai dengan Rp. 0,76
                Angka 0,76 berasal dari    ____1____
                                                                    (1 + 0,15)2
Pada tahun ke-3 nilai Rp. 1 senilai dengan Rp. 0,66
                Angka 0,66 berasal dari    ____1____
                                                                   (1 + 0,15)3
… Dst.
  1. B/C = 1668/1834 = 0,91 (kurang dari 1, maka ditolak)
  2. PP = setelah 7 tahun modal belum kembali, maka ditolak
  3. NPV = 1.668 – 1.834 = – 166 (minus, maka ditolak)
Kesimpulan :
Analisis dengan memasukkan factor diskonto (nilai waktu dari uang) lebih akurat dan logis sebagai cara analitik dalam mengambil keputusan terima atau tidaknya proposal investasi.  ()

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel